Selasa, 23 Desember 2014

Peranan Etika dalam Profesi Akuntansi



Profesi akuntansi mengandung karakteristik pokok suatu profesi, diantaranya adalah jasa yang sangat
penting bagi masyarakat, pengabdian bangsa kepada masyarakat, dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para akuntan dengan standar kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri. Itulah sebabnya profesi akuntansi menetapkan standar teknis atau standar etika yang harus dijadikan sebagai panduan oleh para akuntan, utamanya yang secara resmi menjadi anggota profesi, dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Jadi, standar etika diperlukan bagi profesi akuntansi karena akuntan memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Kode etik atau aturan etika profesi akuntansi menyediakan panduan bagi para akuntan profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Etika Profesi dan Etika Kerja Etika
profesi atau etika profesional merupakan suatu bidang etika (sosial) terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki posisi yang disebut profesional. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. Dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik sehari-hari para profesional dalam menjalankan profesi mereka.
Norma-norma ini biasanya dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik atau kode perilaku profesi yang bersangkutan. Etika profesi biasanya dibedakan dari etika kerja yang mengatur praktek, hak, dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi (non-profesional). Non-profesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap kurangmemiliki otonomi dan kekuasaan atau kemampuan profesional. Namun demikian, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada alasan moral untuk mengeluarkan etika kerja dari kajian etika profesional karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya kecuali yang menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka. Masyarakat tidak mencemaskan pengambilalihan pekerjaan, tetapi masyarakat mencemaskan penyalahgunaan kekuasaan/keahlian. Pembedaan antara etika profesi dan etika kerja lazimnya dilakukan mengingat aktivitas para profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan, adalah berbeda dengan pekerja lain umumnya. Para profesional memiliki karakteristik khusus dari segi pendidikan atau pelatihan, pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan klien, yang membedakannya dari dari pekerja non-profesional.

Contok Kasus Fraud Accounting Perusahaan Multikultural



Mengingat betapa besarnya peranan dari auditor eksternal yang merupakan sang penjaga kepentingan publik tersebut, dibutuhkan standar dan etika untuk menjamin kepercayan masyarakat. Berprofesi sebagai akuntan publik , prilaku professional sangatlah diperlukan. Sebab dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor akan semakin terjamin. Selain itu dengan prilaku profesionalisme akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan.
Suharto (1991:45) menyatakan bahwa profesional lebih mengisyaratkan suatu keadaan pada pekerjaan komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan yang tulus membantu permasalahan yang dihadapi klien. Namun, beberapa tahun terakhir banyak ucapan-ucapan pedas yang dilontarkan masyarakat terhadap profesi ini. Pada intinya, ucapan-ucapan itu sangat mendiskreditkan pfofesi akuntan publik selaku penjaga kepentingan publik. Diantara ucapan tersebut disampaikan oleh Indonesian Coruption Wacth (ICW). ICW mengatakan bahwa tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Ucapan ICW ini tentunya tidak asal “ngomong”
saja, melainkan berdasarkan fakta dan bukti yang ada dilapanngan. Misalkan saja kasus ketika 10 KAP mengaudit 38 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dimana ketika itu mereka memberikan opini audit yang sulit dipertanggungjawabkan. Sekedar mengingatkan kertas kerja kesepuluh KAP tersebut memberikan penilaian wajar tanpa syarat (yang merupakan kriteria tertinggi dalam opini yang diberikan auditor) terhadap laporan keuangan BBKU. Tapi belakangan terbukti bahwa kondisi mereka amburadul dan akhirnya harus dilikuidasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Soedarjono, mantan orang nomor satu di BPKP. Beliau mengatakan “hasil audit akuntan publik terhadap perbankan yang sebelumnya tidak menemukan apa-apa, tapi setelah masuk akuntan asing untuk memeriksa, ditemukan segudang masalah” (Media Akuntansi no. 1/Thn.1/1999).
Dari pernyatan Soedarjono diatas jelas bahwa ketika akuntan asing menemukan adanya segudang masalah, tampak adanya sesuatu yang tidak dimiliki akuntan kita dalam mengaudit sehingga tidak ditemukan adanya masalah, yang selanjutnya tidak diperoleh keyakinan bahwa tidak terdapat masalah yang secara material mempengaruhi opini khususnya dalam hal kecurangan. Karena meurut SA Seksi 316 paragraf 10 memang dinyatakan terdapat kesulitan dalam memperoleh keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji yang material yang disebabkan oleh kecurangan. Hal ini disebabkan karena memang sifat yang disembunyikan sehingga rata-rata perusahaan yang ketahuan bermasalah parah adalah
perusahaan yang berkaitan dengan kecurangan.
Beberapa ucapan pedas diatas mungkin bisa dibenarkan dan juga bisa disalahkan. Semua itu
tergantung paradigma kita semua. Jika kita lihat dari tujuan audit, dalam hal ini adalah general audit maka auditor bisa dikatakan tidak bersalah. Karena jelas, tujuan general audit hanya sekedar memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, bukan untuk menemukan kecurangan. Namun jika kita kaji lebih dalam, auditor bisa saja disalahkan. Diantaranya dengan melihat isi dari Statement of Auditing Standard No. 01 bahwa “auditor memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh tingkat keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan itu telah terbebas dari kesalahan penyajian yang material,
baik disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Karena sifat bukti audit dan berbagai karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh tingkat
keyakinan, walaupun tidak mutlak, bahwa kesalahan penyajian yang material dapat dideteksi....”
Analisis MENGENAI ARTIKEL DI ATAS : Dari semua yang telah diuraikan diatas, terlihat
bahwa kecurangan laporan keuangan adalah suatu tindakan melawan hukum yang dapat merugikan orang lain dan bahkan negara sekalipun. Oleh karena itu sudah selayaknya tindakan kecurangan harus dicegah oleh siapapun juga. Namun, sebenarnya yang paling dominan untuk melakukan hal tersbut adalah pihak dalam perusahaan itu sendiri. Karena merekalah yang mengerti dan ikut secara langsung dalam aktivitas perusahaan. Untuk itulah diperlukan sosok pimpinan yang bisa mengakomodir itu semua. Sosok pimpinan yang anti kecurangan yang bisa
menjaga amanah yang telah diembankan kepadanya. Dengan memiliki pimpinan seperti itu, maka ia akan bisa menerapkan langkah-langkah yang diuraikan diatas untuk mencegah terjadinya kecurangan. Kemudian fungsi auditor eksternal hanya sekedar memastikan bahwa laporan keuangan yang disajikan manajemen benar-benar wajar dan dapat diandalkan. Karena sesuai dengan fungsinya bahwa auditor eksternal hanya sekedar memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Kata “wajar” disini mempunyai makna bebas dari keragu-raguan dan ketidakjujuran serta lengkap informasinya. Untuk bisa menjamin kepentingan publik dan untuk mengeluarkan kata “wajar” tersebut maka sikap profesionalisme merupakan syarat utama untuk menjadi auditor eksternal. Karena dengan profesinalisme-lah ia bisa menjalankan amanah yang diembankan kepadanya.