Selasa, 19 Juni 2012
BAB 9
Investasi
dan Penanaman Modal
1. Investasi
Investasi adalah suatu
istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah
tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan
suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut
juga sebagai penanaman modal. Kebutuhan investasi dalam pertumbuhan
ekonomi. Pemerintah menyatakan, untuk menumbuhkan perekonomian sebesar 7 persen
ke depan, dibutuhkan investasi sekitar Rp.2.000 trilyun per tahun. Investasi
tersebut dipenuhi oleh investasi PMA, investasi dunia usaha domestik, investasi
perorangan (rumah dsb nya) dan juga investasi oleh pemerintah. Sumber
pembiayaan investasi berasal dari Perbankan, Pasar Modal, Sumber Luar Negeri,
APBN dan APBD, serta sebagian besar lainnya dari dana sendiri.
Perkembangan pinjaman oleh
Perbankan selama beberapa tahun terakhir mencapai nilai nominal yang meningkat.
Jika tahun 2007 kenaikan nominal Rp.210 trilyun, tahun 2008 kenaikan sekitar
Rp.300 trilyun, namun sampai dengan September 2009 pinjaman baru tumbuh Rp. 64
trilyun. Dalam beberapa tahun terakhir, secara keseluruhan, total assetPerbankan
tumbuh sekitar 15-17 persen per tahun, pertumbuhan yang sama juga dicapai oleh
DPK (Dana Pihak ketiga).
Bagaimana prediksi ke depan?
Kebutuhan pembiayaan untuk investasi ke depan akan terus
meningkat. Seberapa mampukah perbankan Indonesia dalam melakukan peran
tersebut di tahun-tahun mendatang? Seberapa besarkah potensi Indonesia untuk
bermain dalam peta Perbankan global di tahun-tahun mendatang?
Berbeda dengan perekonomian makro, Perbankan Indonesia belum
masuk dalam peta Perbankan global. Untuk kelas ASEAN saja, masuk Perbankan
global masih tertinggal jauh dibelakang. Pada tahun 2006, dari sepuluh
Perbankan ASEAN dari sisi aset nya, hanya Bank Mandiri yang masuk kategori
tersebut.
Meskipun relatif tertinggal dalam hal pengumpulan aset, Perbankan
Indonesia mampu untuk mencapai tingkat profitabilitas yang lebih tinggi. Dalam
tahun 2008 dan 2009 ini, tingkat keuntungan Perbankan di Indonesia jauh lebih
tinggi dari Singapura, Malaysia dan Muangthai. Maybank, misalnya, memiliki aset
sebesar RM 269,1 milyar sementara laba bersih hanya sekitar RM 2,9 milyar
dengan ROA sebesar 1,1 persen. CIMB (induknya Bank Niaga) memiliki aset sebesar
RM 206,7 miliar sementara laba bersihnya RM 1,95 miliar dengan ROA sebesar 0,94
persen. Di Indonesia, Bank BRI dengan total aset sebesar Rp.246 trilyun
memperoleh laba bersih sebesar Rp.5,96 trilyun dengan ROA sebesar 4,18 persen.
Sementara Bank BCA memperoleh aset sebesar Rp.245 trilyun dengan laba bersih
Rp.5,76 trilyun dan ROA sebesar 3,4 persen di tahun 2008.
Pada tahun 2010 Perbankan di Indonesia mempunyai prospek bagus
untuk berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 5,5 persen
sementara pertumbuhan nominalnya akan mencapai di atas 10 persen. Dengan
tingkat Asset to GDB ratio yang diperkirakan meningkat, maka prospek
peningkaan Dana Pihak Ketiga (Giro, Tabungan, Deposito) juga akan relatif
tinggi. Perkembangan luar Jawa lebih cepat dibanding di Jawa. Perkembangan ini
memungkinkan tercapainya perkembangan pembiayaan yang lebih tinggi.
Dari hasil ulasan di atas, terlihat bahwa Indonesia mempunyai
prospek yang baik untuk meningkatkan investasi. Peningkatan investasi ini
diharapkan dapat menumbuh kembangkan industri, yang akhir-akhir ini ditengarai
telah terjadi deindustrialisasi sejak terjadi krisis tahun 1998. Peningkatan
investasi tentunya dapat menyerap tenaga kerja, dan iklim investasi ini
dipicu oleh adanya peningkatan kelas menengah yang mempunyai daya beli cukup
besar di Indonesia. Masalahnya adalah bagaimana mengatasi agar jenjang antara
kelas menengah ke atas dan masyarakat miskin ini berkurang.
2. Penanaman
modal dalam negeri
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan kunci utama
pertumbuhan ekonomi nasional. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) akan membawa
menuju kearah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi pada gilirannya membawa
kearah spesialisai dan penghematan produksi dalam skala yang luas. Investasi di
bidang barang modal tidak hanya meningkatkan produksi tetapi juga meningkatkan
penggunaan tenaga kerja.
Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) menghasilkan kenaikan
output nasional dan pendapatan nasional sehingga dapat memecahkan masalah
inflasi, neraca pembayaran dan melunasi utang luar negeri. Sumber-sumber yang
dapat diarahkan untuk pembentukan modal adalah kenaikan pendapatan nasional,
pengurangan tingkat konsumsi, penggalakan tabungan, pendirian lembaga keuangan,
menggerakkan simpanan emas dan sebagainya. Sumber domestik yang paling efektif
adalah tabungan yaitu tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan penggunaan modal
untuk usaha-usaha dalam mendorong pembanguanan ekonomi pada umumnya. Inti dari
pembentukan modal adalah pengalihan sumber daya yang sekarang ada pada
masyarakat dengan tujuan meningkatkan persediaan barang modal sehingga
memungkinkan perluasan output yang dapat dikonsumsi pada masa depan.
3. Penanaman
modal asing
Secara makro, proses kemajuan ekonomi suatu Negara akan
semakin lancar jika tingkat tabungan masyarakat mampu mengimbangi kebutuhan investasi
yang akan dilakukan. Jika yang terjadi adalah tabungan masyarakat lebih
sedikit, maka diperlukan peran sektor swasta luar negeri atau asing untuk
menutup celah atau kekurangan tersebut.
Salah satu ukuran untuk menjelaskan hal ini, dapat digunakan
model pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Harrod-Domar dengan mengatakan
bahwa :
g = s/k atau s = g x k , dimana :
g = laju pertumbuhan pendapatan nasional
s = tingkat tabungan masyarakat
k = tingkat pertumbuhan capital output ratio
Jadi jika diketahui keinginan pertumbuhan ekonomi Indonesia
adalah 6 %, sedangkan capital output ratio nya adalah 3, maka tingkat tabungan
masyarakat yang dibutuhkan agar tidak terjadi gap haruslah sebesar 18 %.
Sehingga jika tabungan masyarakat hanya senilai 11 %, maka masih dibutuhkan
sumber modal dari luar negeri sebesar kekurangannya, yakni sebesar 7 %.
Penanaman modal oleh investor asing sendiri sudah memiliki
Undang Undang nya sejak tahun 1976, yaitu pada saat awal pemerintahan Soeharto
yang secara politik dikenal sebagai Orde Baru. Undang Undang PMA tersebut
adalah UU PMA No.1/1976.
Namun, masuknya modal asing menimbulkan pro dan kontra dalam
menanggapinya. Beberapa alasan yang menentang masuknya PMA diantaranya adalah :
Di dalam kenyataannya, sangat jarang perusahaan multinasional
bersedia menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya di Negara-negara
berkemban.
Dilihat dari kepentingan neraca pembayaran,
perusahaan-perusahaan multinasional dapat menyebabkan berkurangnya penerimaan
devisa Negara, baik melalui neraca berjalan, maupun lewat neraca lalu-lintas
modalnya.
Meskipun perusahaan multinasional turut menyetor pajak kepada
Negara, mereka sering mendapatkan keringanan pajak dari pemerintah, serta
perlindungan-perlindungan lainnya.
Tidak jarang tujuan transfer teknologi tidak dapat berjalan
dengan lancer. Disamping kesempatan tenaga kerja pribumi yang masih sulit untuk
menduduki posisi-posisi kunci dalam perusahaan.
Perusahaan multinasional sering memiliki kedudukan sebagai
perusahaan monopolis.
Perusahaan multinasional tidak jarang hanya memproduksi
komoditi untuk kalangan tertentu saja.
Perusahaan multinasional dapat mempertajam kesenjangan sosial.
Perusahaan multinasional dapat menggunakan kekuatan ekonomi
untuk menekan pemerintah.
Perusahaan multinasional dapat menekan pajak local dengan
‘transfer pricing’.
Tetapi, terlepas dari pandangan-pandangan menentang tersebut,
Negara Indonesia dinilai masih banyak membutuhkan uluran penanaman modal asing
tersebut. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya adalah :
Kemampuan menabung masyarakat Indonesia yang belum sempurna,
sehingga kebutuhan modal dalam negeri masih kurang.
Masih banyak sektor yang belum dapat dikelola sendiri oleh
tenaga dan manajemen dalam negeri.
Belum efisiennya produksi untuk jenis-jenis komoditi tertentu,
sehingga lebih menguntungkan jika diserahkan pengelolaannya pada investor
asing.
Meskipun masih sedikit, kita dapat belajar mencoba proses
transfer ‘kemampuan’ dari para perusahaan multinasional tersebut, disamping
perusahaan tersebut banyak juga turut membantu pemerintah dalam membuka pusat
usaha baru di tempat-tempat yang selama ini jauh dari kegiatan ekonomi.
Suatu ideologi atau paham yang percaya bahwa modal merupakan
sumber utama untuk dapat menjalankan sistem perekonomian di suatu Negara
dikenal sebagai paham Kapitalisme. Dengan demikian, semua proses dalam
kehidupan manusia bersumber pada pengelolaan modal; baik itu modal milik
perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik sekelompk
pengusaha-pengusaha swasta. Artinya semua aktivitas dalam kehidupan ekonomi
membutuhkan modal. Pemilik modal, dalam mengelola sumber-sumber ekonomi itu
bertujuan untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha
seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Dengan seiringnya waktu, paham ini bergeser menjadi paham
liberalism dan akhirnya menjadi paham neoliberalism , yang kini dianut oleh
Negara kita, Negara Indonesia.
Paham ini menyebabkan BUMN terpaksa diserahkan ke tangan asing
karena Indonesia memerlukan devisa guna mendukung kurs rupiah yang sedang
tertekan pada saat itu. Juga diperlukan untuk menambah cadangan devisa,
menciptakan lapangan kerja, dan mendorong perekonomian.
Tetapi, penanaman modal asing dinilai oleh para kritikus
sangat membuat masyarakat kecil sengsara karena segala kebijakan pemerintah
mengenai penanaman modal asing yang telihat positif itu hanya membuat para
investor asing semakin kaya-raya dan membuat kesenjangan sosial di Negara ini
semakin tajam, karena 80 % dari hasil penanaman modal asing tersebut milik
investor asing saja.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Investasi
http://amanda-safrida.blogspot.com/2012/05/investasi-dan-penanaman-modal-minggu-ke.html
BAB 8
Masalah
Pokok Perekonomian Indonesia
PENGGANGGURAN
Pengangguran
atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran
umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian
karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan
dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan
jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran
konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.
Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk
terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi
juga dapat menyebabkan kekacauan politik
keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia,
dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang
semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih
banyak orang.
Jenis & macam pengangguran
·
Berdasarkan
jam kerja
Berdasarkan jam
kerja, pengangguran dikelompokkan menjadi 3 macam:
ü
Pengangguran
Terselubung (Disguised Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja
secara optimal karena suatu alasan tertentu.
ü
Setengah
Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara
optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah
menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama
seminggu.
ü
Pengangguran
Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak
mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum
mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.
·
Berdasarkan
penyebab terjadinya
Berdasarkan
penyebab terjadinya, pengangguran dikelompokkan menjadi 7 macam:
ü
Pengangguran
friksional (frictional unemployment). Pengangguran friksional adalah
pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu,
informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran
pekerja tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan
kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan
akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari
sebelumnya.
ü
Pengangguran
konjungtural (cycle unemployment)
Pengangguran
konjungtoral adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang
(naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.
ü
Pengangguran
struktural (structural unemployment)
Pengangguran
struktural adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi
dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktural bisa
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan.
ü
Pengangguran
musiman (seasonal Unemployment)
Pengangguran
musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi
jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, pedagang
durian yang menanti musim durian.
ü
Pengangguran
siklikal
Pengangguran
siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus
ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
ü
Pengangguran
teknologi
Pengangguran
teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian
tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin.
ü
Pengangguran
siklus
Pengangguran
siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan
perekonomian karena terjadi resesi. Pengangguran siklus disebabkan oleh
kurangnya permintaan masyarakat (aggrerate demand).
INFLASI
Dalam
ilmu ekonomi,
inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan
terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi,
sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan
kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang
secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan
tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi
belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat
perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara
terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan
untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab
meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang
paling sering digunakan adalah CPI
dan GDP Deflator.
Inflasi
dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat,
dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah
angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100%
setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan
harga berada di atas 100% setahun.
Penyebab
Inflasi
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan
likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi
dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga
termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari
peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab
kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam
hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal
(perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan
infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi
tarikan permintaan terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan
dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi
permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya
volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap
barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi
itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi
meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan
total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment
dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar
yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak
faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur
peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi
spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Inflasi
desakan biaya terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk
adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan
yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini
atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat
memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau
juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk
tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi
sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di
sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan
bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga
memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal
yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor
infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
Meningkatnya biaya produksi dapat
disebabkan 2 hal, yaitu :
Berdasarkan
asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari
dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari
dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang
dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi
mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi
sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya
produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Inflasi juga dapat
dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan
harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu,
inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila
kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut
sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi
demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat
sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot disebut inflasi yang tidak terkendali
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat
dibedakan :
Inflasi
ringan (kurang dari 10% / tahun)
Inflasi
sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
Inflasi
berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
Hiperinflasi
(lebih dari 100% / tahun)
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran
http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi
BAB 7
KEBIJAKSANAAN
PEMERINTAH
1.
Kebijaksanaan Selama
A. Kebijaksanaan Selama Periode 1966-1969
A. Kebijaksanaan Selama Periode 1966-1969
Kebijaksanaan pada
masa pemerintah ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan
semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama dari
paham komunis. Selain itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerintah
dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi.
B. Periode Pelita I
Kebijaksanaan ini di mulai dengan:
B. Periode Pelita I
Kebijaksanaan ini di mulai dengan:
Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang ekspor
dan impor.
Peraturan Agustus
1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap Dolar, dengan sasaran
pokoknya adalah: kestabilan harga bahan pokok, peningkatan nilai ekspor,
kelancaran impor, dan penyebaran barang di dalam negeri.
C. Periode Pelita
II
Periode ini diisi
dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan untuk
mendorong para eksportir kecil dan menengah, disamping untuk mendorong kemajuan
pengusaha kecil/ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
Kebujaksanaan
Fiskal, dengan cara penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing
komoditi ekspor dipasar dunia, serta untuk menggalakkan penanaman modal
asingdanpenanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri.
Kebijaksanaan 15
Nopember 1978 (KNOP 15), yakni kebijaksanaan di bidang moneeter dengan tujuan
untuk menaikkan hasil produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing
komoditi ekspor.
D. Periode Pelita
III
Adapun
kebijaksanaan-kebijaksanaan peemerintah yang sempat dikeluarkan pada periode
ini:
Paket Januari
1982, yang berisi mengenai tata-cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu lintas
devisa.
Paket
Kebijaksanaan Imbal Beli, yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket
Januari. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir
luar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama.
Kebijaksanaan
Devaluasi 1983, yakni dengan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang
Dolar dari Rp 625/$ manjadi Rp 970/$.
E. Periode Pelita
IV
Beberapa
kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
Kebijaksanaan
INPRES No. 4 Tahun 1985, kebijaksanaan ini dilatar belakangi oleh keinginan
untuk meningkatkan ekspor non-migas.
Paket
Kebijaksanaan 6 Mei 1986 (PAKEM), yang dikeluarkan dengan tujuan untuk
mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
Paket Devaluasi
1986, tindakan ini ditempuh karena jatuhnya harga minyak dipasaran dunia dan
didukung dengan dilaksanakannya pinjaman luar negeri.
Paket
Kebijaksanaan 25 Oktober 1986, yang merupakan deregulasi di bidang perdagangan,
moneter, dan penanaman modal.
Paket
Kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi,
dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka
meningkatkan ekspor non migas.
Paket
Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), dengan melakukan restrukturasi bidang
ekonomi, terutama dalam usaha memperlancar perijinan (deregulasi).
Paket 27 Oktober
1988, yakni kebijaksanaan deregulasi untuk menggariahkan pasar modal dan untuk
menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
Paket
Kebijaksanaan 21 Nopember 1988 (PAKNOV), dengan melakukan deregulasi dan
debirokratisasi dibidang perdagangan dan hubungan laut.
Paket
Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), yakni kebijaksanaan di bidang keuangan
dengan memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan
aktivitas yang lebih produktif.
F. Periode Pelita
V
Kebijaksanaan ini
lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan upaya kondusif guna
mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana Pembangunan Jangka Panjang
Tahap Kedua.
2.
Kebijaksanaan Moneter
Adalah
sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran
uang dan tingkat suku bunga.
Dilihat dari upaya
yang di tempuh, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis, yakni:
Kebijaksanaan
Moneter Kuantitatif
Kebijaksanaan ini
di jalankan dengan mengatur jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga dari
segi kuantitasnya.
Kebijaksanaan
Moneter Kualitatif
Kebijaksanaan
kulitatif ini adalah dengan mengatur dan menghimbau pihak bank umum/lembaga
keuangan lainnya, baik manajemennya maupun produk yang ditawarkan kepada
masyarakat guna mendukung kebujaksanaan moneter kuantitatif yang sedang di
jalankan Bank Indoensia.
3.
Kebijaksanaan Fiskal
Adalah
suatu tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran
belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan.
4.
Kebijaksanaan Fiskal dan Moneter di Sektor Luar Negeri
Kebijaksanaan
Menekan Pengeluaran
Kebijaksanaan ini
dilakukan dengan cara mengurangi tingkat konsumsi/pengeluaran yang dilakukan
oleh para pelaku ekonomi di Indonesia.
Kebijaksanaan
Memindah Pengeluaran
Dalam
kebijaksanaan ini pengeluaran hanya dipindah dan digeser pada bidang yang tidak
terlalu beresiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat dilakukan
secara paksa dan dengan memakai rangsangan.
Sumber:
Setyawan, Aris
Budi. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Gunadarma (Seri Diktat Kuliah)
Langganan:
Postingan (Atom)