Selasa, 19 Juni 2012

SERTIFIKAT


BAB 9


Investasi dan Penanaman Modal

1.     Investasi
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal. Kebutuhan investasi dalam pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyatakan, untuk menumbuhkan perekonomian sebesar 7 persen ke depan, dibutuhkan investasi sekitar Rp.2.000 trilyun per tahun. Investasi tersebut dipenuhi oleh investasi PMA, investasi dunia usaha domestik, investasi perorangan (rumah dsb nya) dan juga investasi oleh pemerintah. Sumber pembiayaan investasi berasal dari Perbankan, Pasar Modal, Sumber Luar Negeri, APBN dan APBD, serta sebagian besar lainnya dari dana sendiri.
Perkembangan pinjaman oleh Perbankan selama beberapa tahun terakhir mencapai nilai nominal yang meningkat. Jika tahun 2007 kenaikan nominal Rp.210 trilyun, tahun 2008 kenaikan sekitar Rp.300 trilyun, namun sampai dengan September 2009 pinjaman baru tumbuh Rp. 64 trilyun. Dalam beberapa tahun terakhir, secara keseluruhan, total assetPerbankan tumbuh sekitar 15-17 persen per tahun, pertumbuhan yang sama juga dicapai oleh DPK (Dana Pihak ketiga).
Bagaimana prediksi ke depan?
Kebutuhan pembiayaan untuk investasi ke depan akan terus meningkat. Seberapa mampukah perbankan  Indonesia dalam melakukan peran tersebut di tahun-tahun mendatang? Seberapa besarkah potensi Indonesia untuk bermain dalam peta Perbankan global di tahun-tahun mendatang?
Berbeda dengan perekonomian makro, Perbankan Indonesia belum masuk dalam peta Perbankan global. Untuk kelas ASEAN saja, masuk Perbankan global masih tertinggal jauh dibelakang. Pada tahun 2006, dari sepuluh Perbankan ASEAN dari sisi aset nya, hanya Bank Mandiri yang masuk kategori tersebut.
Meskipun relatif tertinggal dalam hal pengumpulan aset, Perbankan Indonesia mampu untuk mencapai tingkat profitabilitas yang lebih tinggi. Dalam tahun 2008 dan 2009 ini, tingkat keuntungan Perbankan di Indonesia jauh lebih tinggi dari Singapura, Malaysia dan Muangthai. Maybank, misalnya, memiliki aset sebesar RM 269,1 milyar sementara laba bersih hanya sekitar RM 2,9 milyar dengan ROA sebesar 1,1 persen. CIMB (induknya Bank Niaga) memiliki aset sebesar RM 206,7 miliar sementara laba bersihnya RM 1,95 miliar dengan ROA sebesar 0,94 persen. Di Indonesia, Bank BRI dengan total aset sebesar Rp.246 trilyun memperoleh laba bersih sebesar Rp.5,96 trilyun dengan ROA sebesar 4,18 persen. Sementara Bank BCA memperoleh aset sebesar Rp.245 trilyun dengan laba bersih Rp.5,76 trilyun dan ROA sebesar 3,4 persen di tahun 2008.
Pada tahun 2010 Perbankan di Indonesia mempunyai prospek bagus untuk berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 5,5 persen sementara pertumbuhan nominalnya akan mencapai di atas 10 persen. Dengan tingkat Asset to GDB ratio yang diperkirakan meningkat, maka prospek peningkaan Dana Pihak Ketiga (Giro, Tabungan, Deposito) juga akan relatif tinggi. Perkembangan luar Jawa lebih cepat dibanding di Jawa. Perkembangan ini memungkinkan tercapainya perkembangan pembiayaan yang lebih tinggi.
Dari hasil ulasan di atas, terlihat bahwa Indonesia mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan investasi. Peningkatan investasi ini diharapkan dapat menumbuh kembangkan industri, yang akhir-akhir ini ditengarai telah terjadi deindustrialisasi sejak terjadi krisis tahun 1998. Peningkatan investasi tentunya dapat menyerap tenaga kerja, dan iklim investasi ini  dipicu oleh adanya peningkatan kelas menengah yang mempunyai daya beli cukup besar di Indonesia. Masalahnya adalah bagaimana mengatasi agar jenjang antara kelas menengah ke atas dan masyarakat miskin ini berkurang.
2.     Penanaman modal dalam negeri
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi nasional. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) akan membawa menuju kearah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi pada gilirannya membawa kearah spesialisai dan penghematan produksi dalam skala yang luas. Investasi di bidang barang modal tidak hanya meningkatkan produksi tetapi juga meningkatkan penggunaan tenaga kerja.
Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) menghasilkan kenaikan output nasional dan pendapatan nasional sehingga dapat memecahkan masalah inflasi, neraca pembayaran dan melunasi utang luar negeri. Sumber-sumber yang dapat diarahkan untuk pembentukan modal adalah kenaikan pendapatan nasional, pengurangan tingkat konsumsi, penggalakan tabungan, pendirian lembaga keuangan, menggerakkan simpanan emas dan sebagainya. Sumber domestik yang paling efektif adalah tabungan yaitu tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan penggunaan modal untuk usaha-usaha dalam mendorong pembanguanan ekonomi pada umumnya. Inti dari pembentukan modal adalah pengalihan sumber daya yang sekarang ada pada masyarakat dengan tujuan meningkatkan persediaan barang modal sehingga memungkinkan perluasan output yang dapat dikonsumsi pada masa depan.
3.     Penanaman modal asing
Secara makro, proses kemajuan ekonomi suatu Negara akan semakin lancar jika tingkat tabungan masyarakat mampu mengimbangi kebutuhan investasi yang akan dilakukan. Jika yang terjadi adalah tabungan masyarakat lebih sedikit, maka diperlukan peran sektor swasta luar negeri atau asing untuk menutup celah atau kekurangan tersebut.

Salah satu ukuran untuk menjelaskan hal ini, dapat digunakan model pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Harrod-Domar dengan mengatakan bahwa :

g = s/k  atau  s = g x k   , dimana :

g = laju pertumbuhan pendapatan nasional
s = tingkat tabungan masyarakat
k = tingkat pertumbuhan capital output ratio

Jadi jika diketahui keinginan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 6 %, sedangkan capital output ratio nya adalah 3, maka tingkat tabungan masyarakat yang dibutuhkan agar tidak terjadi gap haruslah sebesar 18 %. Sehingga jika tabungan masyarakat hanya senilai 11 %, maka masih dibutuhkan sumber modal dari luar negeri sebesar kekurangannya, yakni sebesar 7 %.

Penanaman modal oleh investor asing sendiri sudah memiliki Undang Undang nya sejak tahun 1976, yaitu pada saat awal pemerintahan Soeharto yang secara politik dikenal sebagai Orde Baru. Undang Undang PMA tersebut adalah UU PMA No.1/1976.

Namun, masuknya modal asing menimbulkan pro dan kontra dalam menanggapinya. Beberapa alasan yang menentang masuknya PMA diantaranya adalah :

Di dalam kenyataannya, sangat jarang perusahaan multinasional bersedia menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya di Negara-negara berkemban.
Dilihat dari kepentingan neraca pembayaran, perusahaan-perusahaan multinasional dapat menyebabkan berkurangnya penerimaan devisa Negara, baik melalui neraca berjalan, maupun lewat neraca lalu-lintas modalnya.
Meskipun perusahaan multinasional turut menyetor pajak kepada Negara, mereka sering mendapatkan keringanan pajak dari pemerintah, serta perlindungan-perlindungan lainnya.
Tidak jarang tujuan transfer teknologi tidak dapat berjalan dengan lancer. Disamping kesempatan tenaga kerja pribumi yang masih sulit untuk menduduki posisi-posisi kunci dalam perusahaan.
Perusahaan multinasional sering memiliki kedudukan sebagai perusahaan monopolis.
Perusahaan multinasional tidak jarang hanya memproduksi komoditi untuk kalangan tertentu saja.
Perusahaan multinasional dapat mempertajam kesenjangan sosial.
Perusahaan multinasional dapat menggunakan kekuatan ekonomi untuk menekan pemerintah.
Perusahaan multinasional dapat menekan pajak local dengan ‘transfer pricing’.

Tetapi, terlepas dari pandangan-pandangan menentang tersebut, Negara Indonesia dinilai masih banyak membutuhkan uluran penanaman modal asing tersebut. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya adalah :

Kemampuan menabung masyarakat Indonesia yang belum sempurna, sehingga kebutuhan modal dalam negeri masih kurang.
Masih banyak sektor yang belum dapat dikelola sendiri oleh tenaga dan manajemen dalam negeri.
Belum efisiennya produksi untuk jenis-jenis komoditi tertentu, sehingga lebih menguntungkan jika diserahkan pengelolaannya pada investor asing.
Meskipun masih sedikit, kita dapat belajar mencoba proses transfer ‘kemampuan’ dari para perusahaan multinasional tersebut, disamping perusahaan tersebut banyak juga turut membantu pemerintah dalam membuka pusat usaha baru di tempat-tempat yang selama ini jauh dari kegiatan ekonomi.
Suatu ideologi atau paham yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem perekonomian di suatu Negara dikenal sebagai paham Kapitalisme. Dengan demikian, semua proses dalam kehidupan manusia bersumber pada pengelolaan modal; baik itu modal milik perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik sekelompk pengusaha-pengusaha swasta. Artinya semua aktivitas dalam kehidupan ekonomi membutuhkan modal. Pemilik modal, dalam mengelola sumber-sumber ekonomi itu bertujuan untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

Dengan seiringnya waktu, paham ini bergeser menjadi paham liberalism dan akhirnya menjadi paham neoliberalism , yang kini dianut oleh Negara kita, Negara Indonesia.

Paham ini menyebabkan BUMN terpaksa diserahkan ke tangan asing karena Indonesia memerlukan devisa guna mendukung kurs rupiah yang sedang tertekan pada saat itu. Juga diperlukan untuk menambah cadangan devisa, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong perekonomian.

Tetapi, penanaman modal asing dinilai oleh para kritikus sangat membuat masyarakat kecil sengsara karena segala kebijakan pemerintah mengenai penanaman modal asing yang telihat positif itu hanya membuat para investor asing semakin kaya-raya dan membuat kesenjangan sosial di Negara ini semakin tajam, karena 80 % dari hasil penanaman modal asing tersebut milik investor asing saja.


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Investasi
http://amanda-safrida.blogspot.com/2012/05/investasi-dan-penanaman-modal-minggu-ke.html

BAB 8


Masalah Pokok Perekonomian Indonesia

PENGGANGGURAN
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

Jenis & macam pengangguran
·         Berdasarkan jam kerja
Berdasarkan jam kerja, pengangguran dikelompokkan menjadi 3 macam:
ü  Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.
ü  Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
ü  Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.
·         Berdasarkan penyebab terjadinya
Berdasarkan penyebab terjadinya, pengangguran dikelompokkan menjadi 7 macam:
ü  Pengangguran friksional (frictional unemployment). Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerja tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
ü  Pengangguran konjungtural (cycle unemployment)
Pengangguran konjungtoral adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.
ü  Pengangguran struktural (structural unemployment)
Pengangguran struktural adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktural bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan.
ü  Pengangguran musiman (seasonal Unemployment)
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, pedagang durian yang menanti musim durian.
ü  Pengangguran siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
ü  Pengangguran teknologi
Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin.
ü  Pengangguran siklus
Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian karena terjadi resesi. Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (aggrerate demand).

INFLASI
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Penyebab
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Inflasi desakan biaya terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu :
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
*      Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
*      Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
*      Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
*      Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran
http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi

BAB 7


KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
1. Kebijaksanaan Selama

A. Kebijaksanaan Selama Periode 1966-1969
Kebijaksanaan pada masa pemerintah ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama dari paham komunis. Selain itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi.

B. Periode Pelita I

Kebijaksanaan ini di mulai dengan:
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang ekspor dan impor.
Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap Dolar, dengan sasaran pokoknya adalah: kestabilan harga bahan pokok, peningkatan nilai ekspor, kelancaran impor, dan penyebaran barang di dalam negeri.
C. Periode Pelita II
Periode ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, disamping untuk mendorong kemajuan pengusaha kecil/ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
Kebujaksanaan Fiskal, dengan cara penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor dipasar dunia, serta untuk menggalakkan penanaman modal asingdanpenanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri.
Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 (KNOP 15), yakni kebijaksanaan di bidang moneeter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor.
D. Periode Pelita III

Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan peemerintah yang sempat dikeluarkan pada periode ini:
Paket Januari 1982, yang berisi mengenai tata-cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu lintas devisa.
Paket Kebijaksanaan Imbal Beli, yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket Januari. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir luar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama.
Kebijaksanaan Devaluasi 1983, yakni dengan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar dari Rp 625/$ manjadi Rp 970/$.
E. Periode Pelita IV

Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985, kebijaksanaan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor non-migas.
Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 (PAKEM), yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
Paket Devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh karena jatuhnya harga minyak dipasaran dunia dan didukung dengan dilaksanakannya pinjaman luar negeri.
Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986, yang merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal.
Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor non migas.
Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), dengan melakukan restrukturasi bidang ekonomi, terutama dalam usaha memperlancar perijinan (deregulasi).
Paket 27 Oktober 1988, yakni kebijaksanaan deregulasi untuk menggariahkan pasar modal dan untuk menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
Paket Kebijaksanaan 21 Nopember 1988 (PAKNOV), dengan melakukan deregulasi dan debirokratisasi dibidang perdagangan dan hubungan laut.
Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), yakni kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.
F. Periode Pelita V

Kebijaksanaan ini lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.
2. Kebijaksanaan Moneter
Adalah sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran uang dan tingkat suku bunga.
Dilihat dari upaya yang di tempuh, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni:
Kebijaksanaan Moneter Kuantitatif
Kebijaksanaan ini di jalankan dengan mengatur jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga dari segi kuantitasnya.
Kebijaksanaan Moneter Kualitatif
Kebijaksanaan kulitatif ini adalah dengan mengatur dan menghimbau pihak bank umum/lembaga keuangan lainnya, baik manajemennya maupun produk yang ditawarkan kepada masyarakat guna mendukung kebujaksanaan moneter kuantitatif yang sedang di jalankan Bank Indoensia.
3. Kebijaksanaan Fiskal
Adalah suatu tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan.


4. Kebijaksanaan Fiskal dan Moneter di Sektor Luar Negeri
Kebijaksanaan Menekan Pengeluaran
Kebijaksanaan ini dilakukan dengan cara mengurangi tingkat konsumsi/pengeluaran yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi di Indonesia.
Kebijaksanaan Memindah Pengeluaran
Dalam kebijaksanaan ini pengeluaran hanya dipindah dan digeser pada bidang yang tidak terlalu beresiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa dan dengan memakai rangsangan.

Sumber:
Setyawan, Aris Budi. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Gunadarma (Seri Diktat Kuliah)